Ramadhan dan Pedagogi Waktu
Pendidikan adalah sarana membentuk manusia multidimensi melalui proses yang memberdayakan individu, memperkuat kearifan budaya, dan merayakan spiritualitas.
Pada Ramadhan 2025 ini, pemerintah menerapkan penyesuaian waktu pembelajaran di sekolah secara nasional.
Sesuai Surat Edaran Bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, murid sekolah diberikan waktu belajar secara mandiri di lingkungan keluarga, tempat ibadah, atau masyarakat menjelang hingga awal Ramadhan.
Pembelajaran tatap muka di sekolah dilakukan pada sisa hari di bulan Ramadhan hingga menjelang masa libur Lebaran. Pada tahun-tahun sebelumnya, beberapa pemerintah daerah juga menerapkan kebijakan serupa dengan berbagai variasinya. Penyesuaian pembelajaran selama bulan puasa ini merupakan langkah penting dan bisa menjadi bahan refleksi untuk memikirkan kembali konsep waktu dalam pendidikan modern.
Waktu korporat
Seperti yang kita tahu, sistem pendidikan modern sangat terobsesi dengan waktu. Anak-anak kita bersekolah mengikuti jadwal yang ketat, berpindah dari satu pelajaran ke pelajaran lainnya.
Terkadang, perkembangan intelektual mereka lebih banyak didikte oleh lonceng sekolah daripada keingintahuan. Belajar kerap diperlakukan sebagai proses mekanis yang dikendalikan oleh kalender akademik, bukan perjalanan personal yang organik dan mendalam.
Ahli psikologi pendidikan Amerika Serikat, Clifford Mayes (2005), menyatakan, pendidikan modern dibentuk oleh apa yang disebutnya sebagai waktu korporat (corporate time). Ini adalah waktu yang linear, impersonal, dan dapat dikelola secara matematis sehingga menjadi sarana ideal mengelola akumulasi keuntungan.
Munculnya kapitalisme pada awal abad ke-14 bukan hanya mengubah ekonomi, melainkan juga meredefinisi konsep waktu. Didukung oleh pesatnya produksi teknologi jam mekanis mulai abad ke-14 hingga abad ke-17, waktu menjadi komoditas yang bisa diukur, dibentuk, dan dioptimalkan untuk produktivitas.
Seperti ditulis Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life (1976), sejak revolusi industri pada abad ke-18, organisasi dan jadwal sekolah modern disusun menyerupai struktur dan jam kerja perusahaan.
Mengikuti citra ini, dalam belajar, produktivitas disamakan dengan kecepatan. Murid yang mampu menangkap suatu konsep lebih cepat dianggap lebih pintar dibandingkan dengan mereka yang memproses lebih lambat. Padahal, belajar tak jarang perlu proses repetitif dan kontemplatif dengan kecepatan yang beragam antarindividu.
Struktur waktu yang kaku dari sistem persekolahan modern berpotensi mengabaikan kenyataan bahwa pertumbuhan intelektual tidak selalu berjalan linear.
Sering kali belajar adalah proses yang melibatkan emosi dan bersifat sangat individual. Seorang murid yang kesulitan dengan matematika boleh jadi karena cara belajarnya tidak sesuai dengan target waktu yang ditentukan dalam kurikulum. Ia mungkin perlu momen refleksi, aplikasi nyata, atau cara penyampaian materi yang berbeda.
Harus diakui, waktu korporat berperan besar dalam mengorganisasi sistem sekolah secara lebih efektif dan terstandar, seiring pesatnya partisipasi pendidikan di banyak negara (Ramirez dan Boli, 1987). Akan tetapi, kita perlu mereimajinasi pendidikan yang mempertimbangkan pengalaman murid dengan waktu secara lebih mendalam.
Dalam karya berjudul Education and Time: Foundations of a Temporal Pedagogy (2005), Mayes menawarkan tiga konsep waktu alternatif yang bisa dipertimbangkan agar proses pembelajaran tak selalu didikte oleh waktu korporat.
Pertama, waktu otobiografis (autobiographical time). Ini adalah waktu personal yang sarat pengalaman reflektif.
Guru perlu memberi muridnya kesempatan untuk mengonstruksi makna belajar serta mengeksplorasi potensi dan kebutuhan belajar mereka. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan bercerita, refleksi, atau motivasi pengembangan diri.
Sekolah juga bisa mengatur jadwal belajar yang lebih fleksibel, blok waktu lebih panjang untuk pembelajaran lebih mendalam, dan kesempatan bagi murid mengatur ritme belajarnya sendiri. Dengan cara ini, belajar bisa jadi pengalaman yang lebih personal dan berkesan.
Kedua, waktu kultural historis (culturo-historical time). Ini adalah pemahaman kolektif tentang waktu yang dibentuk oleh budaya dan kesadaran sejarah tertentu. Budaya yang berbeda memiliki pengalaman waktu yang berbeda pula. Budaya Barat modern menganggap waktu berjalan linear dan progresif. Hal ini menjadikan kemajuan dan inovasi sebagai doktrin utama sehingga persaingan individu sangat ditekankan.
Sementara itu, pada banyak masyarakat dunia Timur, waktu dipahami sebagai siklus: dari kelahiran, kematian, hingga kelahiran kembali. Implikasinya, penghargaan pada keberlangsungan komunitas dan alam lebih penting dibandingkan dengan capaian individu.
Pendidikan semestinya dapat menghormati perbedaan ini dengan memasukkan struktur pembelajaran yang responsif budaya. Penyesuaian kalender akademik dengan jadwal upacara adat atau waktu ibadah puasa seperti Ramadhan saat ini, misalnya, merupakan bagian dari peran pendidikan memperkuat ikatan murid dengan masyarakat, budaya, dan nilai-nilainya.
Aktivitas murid mengisi waktu-waktu budaya tersebut dapat dirancang sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran di sekolah. Dengan cara ini, sekolah bukan sekadar tempat bersaing mengumpulkan prestasi individu, meliankan juga tempat mengasah kearifan, kebersamaan, dan keberlanjutan ekosistem.
Ketiga, waktu spiritual (spiritual time), yaitu waktu yang mengandung aspek transenden dan terkait dengan keyakinan, etika, dan kontemplasi. Spiritualitas memberi makna lebih dalam pada belajar, yang lebih dari sekadar menyiapkan calon-calon pekerja industri. Dalam tradisi Islam, belajar bukan hanya proses memperoleh ilmu pengetahuan, melainkan juga proses pencarian spiritual.
Mengutip teolog Muslim, Abu Hamid al-Ghazali, menuntut ilmu harus melewati proses pendisiplinan diri (tahdzib al-nafs) dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) agar dapat mendekat pada kebenaran dan kesejatian Tuhan.
Karena itu, berbeda dari ideologi pendidikan modern yang berorientasi pada hasil belajar yang terukur, para sarjana Muslim klasik menaruh perhatian lebih besar pada etika dalam proses belajar.
Kitab pedagogi klasik karangan Burhanuddin al-Zarnuji yang jadi bacaan wajib di banyak pesantren di Indonesia, Ta’lim al-Muta’allimThariq al-Ta’allum (Mengajarkan Murid Metode Belajar), misalnya, mengulas berbagai prinsip etik seperti motivasi (niyyah), sikap kepada guru (adab), disiplin dan kesungguhan (ijtihad), kesabaran (shabr), serta menjaga perilaku dan pola konsumsi (wara’).
Selain itu, belajar juga dikatakan memerlukan waktu yang panjang (thul zaman). Kualitas hasil belajar tidak diukur dari kepintaran seseorang, tetapi dari manfaat dan berkahnya ilmu. Setinggi apa pun ilmu, jika diperoleh tanpa nilai dan etika, akan hilang keberkahannya.
Dalam berbagai tradisi keagamaan, waktu disusun berdasarkan aktivitas ritual. Sekolah bisa mengintegrasikan waktu-waktu ini untuk memberi momen kontemplasi ke seluruh warga sekolah.
Misalnya, sekolah dapat menyesuaikan jam pelajaran dengan waktu-waktu keagamaan, seperti waktu shalat untuk murid Muslim, jam kanonis atau ibadat harian untuk murid Kristiani, atau meditasi untuk murid beragama Hindu dan Buddha. Menghidupkan suasana spiritual di sekolah melalui internalisasi praktik dan ajaran keagamaan akan menautkan pendidikan dengan tujuan transenden dan kemanusiaannya.
Momen simbolik
Penyesuaian pembelajaran selama Ramadhan pada dasarnya bukan hanya representasi dari penerapan waktu spiritual, melainkan juga otobiografis dan budaya sekaligus. Ini dapat memberi kesempatan murid mengambil jeda dari waktu mekanis untuk menemukan motivasi dan mengeksplorasi pengalaman belajar baru yang lebih personal.
Selain itu, dengan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas Ramadhan dalam keluarga dan masyarakat, para murid juga turut andil dalam memastikan praktik serta nilai-nilai budaya dan religi di masyarakat tetap berkelanjutan.
Esensi Ramadhan sendiri sebagai bulan penyucian diri dan pembentukan karakter manusia unggul (muttaqin) dapat menjadi momen simbolik untuk mengingatkan sistem pendidikan kita.
Pendidikan tak boleh terlalu terpaku pada dogma modernitas yang melihat pelajar sebagai aset dan mesin pembangunan ekonomi semata. Pendidikan adalah sarana membentuk manusia multidimensi melalui proses yang memberdayakan individu, memperkuat kearifan budaya, dan merayakan spiritualitas.
Pertama kali terbit di kompas.com